Kesabaran Seorang Resepsionis

Sabtu, 13 September 2008

Beberapa bulan yang lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu kejadian yang sangat mengesankan: betapa sulitnya menjadi resepsionis. Saat itu sekitar pukul lima sore, petugas resepsionis hotel sibuk mendaftar tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja dengan nada memerintah. Laki-laki berwajah sumringah itu pun berkata, "Baik, Bapak, kami sediakan satu kamar single untuk Anda.” “Single?” bentak orang itu, “saya memesan double!” Pegawai hotel tersebut berkata dengan sopan, “coba saya periksa sebentar.” Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Bapak, telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sek ali menempatkan Anda di kamar double kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.” Tamu yang berang itu berkata, “Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double!” Kemudian ia mulai bersikap 'kamu-tahu-siapa-saya', diikuti dengan “saya akan usahakan agar kamu dipecat. Kamu lihat nanti. Saya akan buat kamu dipecat.” Di bawah serangan gencar, pegawai muda tersebut menyela, “kami menyesal sekali tidak bisa memenuhi permintaan Bapak, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.” Akhirnya, sang tamu yang terbakar amarah itu berkata, “saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya benar-benar buruk!” Dan ia pun kelu ar. Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti masih memasang wajah masam setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali “Selamat malam, Bapak.” Ketika ia mengerjakan tugas rutin yang biasa dalam mengatur kamar untuk saya, saya berkata kepadanya, “saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.” “Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang yang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan in i adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.” Pegawai tadi menambahkan, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.” Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.” Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda. Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.

0 comments: