Tak Ada Bandit di Kota Ini

Sabtu, 13 September 2008

KEDUANYA tak terlalu mirip sebagaimana Tuan Huntelaar menghapalnya: si abang, Siman, berperawakan kekar dengan muka ditumbuhi berewok lebat; Misan si adik bertubuh ceking dengan dagu dan pipi licin, hanya ada kumis tipis serupa lugut melekat di bibir atasnya. Kesamaannya: bentuk mata yang bulat seperti mata celepuk dan hidung tumpul. Di kepala mereka juga melingkar destar hitam. Tentu saja, keduanya memiliki kegemaran serupa: merampok harta orang. Tan Hap Pon, pemilik penggilingan tebu, tahu betul rasanya kehilangan harta karena dirampok mereka. Emas dan intan dan uang dan berkarung-karung padi di lumbung, seluruh hartanya lebih dari f 1.500, raib dibawa pergi. Untunglah ia punya rumah dan penggilingan tebu dan delapan ekor babi di kandang tak habis dibakar mereka.

Di kota lain, pada lain tempo, para bandit bahkan tak segan pula merampok nyawa pemilik rumah yang disinggahi. ”Tuan, semalam saya dirampok,” adu Hap Pon tergopoh-gopoh kepada Tuan Huntelaar. Sebagai schout, dalam bulan-bulan belakangan ini, Tuan Huntelaar kelabakan menerima pengaduan hartawan yang kekayaannya dirampok. Untuk menenangkan mereka, ia berjanji akan menangkap Siman dan Misan sesegera mungkin. Meski dalam hati, ia tahu itu nyaris mustahil. Huntelaar bukan orang yang percaya klenik. Tapi suatu kali ia pernah menyaksikan kedua bandit itu kabur dari kepungan serdadu polisi serupa hantu melenyapkan diri. Berkarung-karung padi yang diambil dari lumbung Hap Pon betul hanya dipanggul dua orang, Siman dan Misan itu, tak ada anak buah yang membantu mereka. ”Demi Langit, saya melihat dengan mata kepala sendiri,” ujar Hap Pon. Di tengah ketakberdayaan, ia menyaksikan kedua bandit itu masing-masing memanggul lebih dari tiga karung padi di punggung, selain menenteng kotak perhiasan dan uang. Rasanya sukar dipercaya apa yang dikatakan Hap Pon itu, tapi istri dan anaknya berkata serupa. Itu menambah daftar kesaksian korban yang tak pernah melihat orang lain selain keduanya pada saat perampokan terjadi.

Bagaimanapun mereka sangat tangguh. Selain ilmu halimunan, pikir Huntelaar, dua kecu itu juga punya tenaga sekuat badak. Tuan Huntelaar memang sudah membikin penyelidikan, mencari tahu di mana dua bandit bersaudara itu sembunyi. Ia sudah menyebar mata-matanya hingga bilangan Bogor dan Batavia. Polisi bahkan sudah menjanjikan ganjaran f 400 untuk satu kepala bandit itu, f 800 untuk dua kepala, bagi siapa-siapa yang berhasil menangkap mereka hidup atau mati. Tapi uang sebanyak itu tak membikin penduduk tergiur. Ia menduga para penduduk sudah diancam dihilangkan nyawanya seandainya membocorkan tempat persembunyian mereka. *** TAK banyak yang diketahui orang tentang asal usul keduanya. Orang hanya tahu, sebagaimana tertulis di laporan penyelidikan Huntelaar, mereka datang dari sekitaran Banten, singgah di kota pada awal masa budi daya tanaman dikenalkan Tuan Besar van den Bosch. Usia mereka masih belasan waktu itu, menggelandang di kota dengan bercelana rombeng yang pada pinggangnya diikat tali rami dan dada telanjang menantang cuaca. Tak ada catatan siapa orang tua mereka. Seorang hartawan Tionghoa menerima mereka sebagai sebagai tukang kuda. Jemu dengan pekerjaannya, si abang, Siman, mengganti pekerjaan sebagai jongos pada tuan-tuan Belanda, sedangkan Misan pindah bekerja di toko seorang Arab, sebelum akhirnya terdampar jadi tukang kebun di rumah Tuan Kramer, seorang tuan tanah. Di rumah itulah kemudian terjadi dua kasus pembunuhan yang berselang sehari. Seorang babu Tuan Kramer, namanya Halimah, membikin Misan jatuh hati. Tahu kedua babunya saling menaruh hati, Tuan Kramer amat murka. Selidik punya selidik ia cemburu pada Misan. Tuan Kramer memang punya anak dan istri yang cantik. Tapi sudah lama ia punya niat menjadikan Halimah sebagai nyai. Dipanggang oleh rasa cemburu, ia membunuh Halimah dengan cara yang kejam dan melimpahkan dosa itu kepada Misan. Lelaki ceking itu segera menghilang entah ke mana, tapi kembali secara diam-diam dua hari kemudian dan menghabisi nyawa Tuan Kramer. Polisi menduga, malam saat para babu dan jongos sudah terlelap, Misan dibantu Siman menyelinap ke kamar Tuan Kramer yang tidur sendirian, ditinggal Nyonya Kramer dan anak perempuan yang pergi ke Batavia untuk menenangkan diri. ”Ia dipenggal dengan golok. Barangkali golok yang sudah diasah seharian,” ungkap polisi. Pembunuhan itu terjadi kira-kira enam tahun sejak mereka kali pertama terdampar di kota. Selepas kasus yang menghebohkan itu, polisi segera memburu keduanya. Tuan Huntelaar mencatat kasus tersebut sebagai kejahatan pertama mereka dan ia yakin bahwa lebih banyak lagi pembunuhan yang mereka lakukan. Tapi orang-orang percaya, Siman dan Misan tak pernah lagi membunuh selepas kejadian itu, sebagaimana mereka percaya keduanya adalah dewa penolong mereka. ***

MEREKA kembali ke kota belum ada setahun setelah nyaris delapan tahun tak pernah terlihat dan kasus pembunuhan terhadap Tuan Kramer mulai dilupakan. Seorang mandor di perkebunan nila yang mula-mula melaporkannya. ”Ada dua orang bandit merampok harta saya. Perawakannya yang satu kekar, satunya lagi kurus. Mereka tak memakai tutup muka, bahkan terang-terangan menyebutkan nama,” kata lelaki itu. ”Siman dan Misan.” Berita itu menyebar secepat kuda berlari. Sudah lama tak ada kasus perampokan di kota ini. Kasus terakhir terjadi pada zaman Tuan Besar van der Capellen menjabat Gubernur Jenderal. Polisi segera memburu Siman dan Misan, tapi perampokan demi perampokan terjadi lebih gencar lagi seolah polisi tak benar-benar ada. Bahkan setelah kedua bandit itu nyaris tertangkap suatu kali, mereka tetap tak kapok, justru melakukan olok-olok dengan menyatroni rumah Tuan Huntelaar. Dalam pengepungan itulah Huntelaar melihat mereka menghilang serupa hantu. Mereka yang dirampok adalah para pengawas perkebunan dan para hartawan dan tuan tanah dan para pejabat pribumi dan para serdadu polisi, termasuk dirinya. Semuanya ada enam belas kasus. ”Sungguh aneh. Setiap kali terjadi perampokan, orang-orang kecil justru bahagia,” kata Huntelaar pada dirinya sendiri. ”Begitu bahagia hingga tanah garapan mereka terbengkalai.” ***

DI kantornya, Tuan Huntelaar tampak termangu-mangu menyimak laporan penyelidikan anak buahnya. Ia kini tahu mengapa orang-orang kecil melindungi dua bandit yang menjengkelkan itu. Perkebunan nila telah menyita waktu dan tenaga mereka untuk menggarap tanah sendiri. Ia dengar di Cirebon kelaparan bahkan mulai menyerang. Di sini, ia menduga, para penduduk dapat beroleh makan dan membayar pajak dari harta rampokan kedua bandit itu. Sudah bukan rahasia umum para pengawas perkebunan dan para tuan tanah dan para bekel bukanlah orang yang terpuji. Barangkali dua bandit itu berpikir mereka patut dirampok, pikir Huntelaar. Sementara para hartawan tidak semua jadi korban. Hanya mereka yang kikir saja yang jadi sasaran. Serdadu polisi? Huntelaar menyeringai kecut. Tapi tiba-tiba ia sadar, ternyata di antara semua kasus perampokan tak ada satu pun korban yang sampai mati terbunuh. Ia mulai mencari-cari nama, menduga-duga siapa korban dua bandit itu selanjutnya. Rasa-rasanya semua hartawan dan tuan tanah pernah dirampok mereka. Mungkinkah perampokan pada korban yang sama terulang dua kali? Dari semua kasus perampokan, tak tercatat Siman dan Misan mendatangi korbannya dua kali. Pasti korban baru, tapi siapa? Huntelaar berpikir keras. Seorang hartawan yang tak pernah kena rampok adalah Babah A Tjip. Ia seakan tak tersentuh oleh Siman dan Misan. Itu membuat Tuan Huntelaar curiga. Bukan tidak mungkin Babah A Tjip akan jadi korban berikutnya. Namun sebentar saja ia menaruh prasangka mengingat Babah A Tjip tersohor sebagai orang ramah dan dermawan Betul ia pemilik pondok opium, tapi ia juga membagikan angpau kepada mereka yang papa pada saat Imlek. Babah A Tjip, pikir Huntelaar, tak cocok untuk jadi korban mereka. Jangan-jangan.... Ah, tidak mungkin, pikirnya. Rumah Kanjeng Regent terlampau ketat dijaga. Apalagi sejak banyak terjadi kasus perampokan belakangan ini. Jangankan manusia, binatang sekecil ujung jari pun akan ketahuan seandainya menyelinap ke rumah itu.

Hampir dua minggu kemudian apa yang sempat diduga betul-betul terjadi. Kanjeng Regent sendiri menyaksikan kedua bandit itu mengobrak-abrik lemari tempat menyimpan barang-barang berharga dan menggondol semua benda itu. Ia hanya terkesima, begitu juga para penjaga dan para babu. Semua menatap Siman dan Misan yang tak bersenjata dengan perasaan campur aduk, antara ingin menangkap tapi tak berdaya, dan terpesona oleh cara-cara mereka merampok. Tak ada kekerasan sebagaimana kasus-kasus sebelumnya. Saat semua tersadar dari sirap itu, Siman dan Misan sudah menghilang pada malam yang gulita. Kejadian tersebut sungguh menampar muka Kanjeng Regent. Dengan marah-marah Kanjeng Regent meminta dirinya cepat meringkus kedua bandit itu. Ia tahu jabatannya sedang dipertaruhkan sebab para pejabat berpangkat besar di Batavia pun meminta demikian. Satu-satunya cara untuk meringkus kedua bandit itu adalah menemukan tempat persembunyiannya. Tapi di mana? Hutan-hutan di pinggiran kota terlampau luas. Atau, jangan-jangan, mereka tak bersembunyi di hutan tapi di salah satu rumah di kota, atau di Batavia, atau di Bogor. Dengan menyaru menjadi orang lain hal itu bisa saja dilakukan.

Melalui seorang mata-matanya, Huntelaar akhirnya tahu bahwa Babah A Tjip memesan banyak opium Bengal pada seorang syahbandar setiap kali perampokan terjadi. Otak lelaki itu segera berputar. Dengan uang melimpah, seseorang bisa dengan gampang mengisap candu semudah menghirup udara. Ia sendiri yang kemudian mendatangi Babah A Tjip untuk menyelidiki dua kejadian yang tampak berhubungan itu. ”Tuan, saya tak mengenal kedua bandit itu,” Babah A Tjip menolak mati-matian tudingan Tuan Huntelaar ”Mereka tak pernah kemari. Seandainya kemari, mereka pasti akan menjarah seluruh persediaan candu sejak dulu.” Nyatanya, Tuan Huntelaar bukanlah orang yang mudah percaya omongan orang. Ia telah belajar bahwa dirinya salah ketika menuduh Siman dan Misan melakukan banyak pembunuhan. Mereka hanya merampok, tak pernah berbuat kejam pada korban mereka. Untuk bandit baik hati yang banyak menolong orang kecil, rasa-rasanya sukar dipercaya jika mereka merampok seseorang yang selama ini berjasa kepada mereka. ”Baiklah jika kau ingin pondok opiummu ditutup dan kau masuk bui,” ancam Tuan Huntelaar halus. Kini ia tahu pula kesamaan kedua bandit itu: doyan mengisap candu. ***

MALAM itu Babah A Tjip kedatangan dua tamu istimewanya. Sebagaimana biasa, dua orang perempuan mengantarkan tetamu masuk ke bilik. Ada yang aneh dengan sikap Babah A Tjip yang serbagugup. Tapi tetamu itu, Siman dan Misan, tak lantas curiga sebab dua orang perempuan yang kerap menemani mereka, dengan air muka yang wajar, lantas mempersilakan mereka masuk ke bilik dan naik ke bale-bale. Keduanya segera melepas destar, membuat rambut gondrong mereka tergerai ke bantal bale-bale. Dengan berselonjor dan badan dimiringkan, mereka memperhatikan dua perempuan itu serempak menggulung candu menjadi sebesar biji kacang polong, lalu keduanya serempak pula meletakkan bola-bola candu itu ke dalam dua mangkuk pipa opium yang berbeda. Demikianlah Siman dan Misan melambung ke langit ketujuh diterbangkan asap candu dari padudan. Tiba-tiba delapan serdadu polisi yang dikepalai Tuan Huntelaar, mendobrak bilik dan serempak menodongkan bedil. Kejadian itu berlangsung sekedipan mata. Dua lelaki lengah itu segera ditangkap dan diikat kuat-kuat hingga mustahil melepaskan diri. Setelah dihajar hingga babak belur, keduanya lalu diarak ke penjara oleh puluhan serdadu polisi yang didatangkan dari Batavia dan Bogor, yang sejak tadi sudah mengepung pondok opium Babah A Tjip. Selang seminggu, pengadilan Raad Sambang menjatuhkan vonis hukuman mati. Siman dan Misan digantung di pegantungan disaksikan orang-orang yang membenci dan mencintainya. Kanjeng Regent dan para hartawan korban perampokan terkekeh-kekeh menyaksikan mereka melepas nyawa. Sebaliknya orang-orang kecil yang selama ini banyak ditolong, menangis tersedu-sedu. ***

ORANG-ORANG masih ramai membicarakan kematian dua bandit tersohor itu, dan berpikir kini para tuan tanah dan para hartawan bisa tidur nyenyak, dan polisi tinggal mengusut kasus-kasus kecil saja. Beberapa minggu setelah kematian Siman dan Misan, tak ada lagi orang yang tergopoh-gopoh mengadu telah dirampok. Kota telah pulih, pikir Huntelaar. Orang-orang kecil itu akan bekerja seperti sediakala, tanpa banyak menuntut dan patuh pada kebijakan agung cultuurstelsel. Duduk di kursinya, Tuan Huntelaar senyum-senyum sendiri. Hatinya masih dijejali rasa bangga telah meringkus Siman dan Misan. Ia menyeruput kopi yang rasanya lebih nikmat ketimbang berbulan-bulan lalu, waktu seorang mandor datang menghadap. ”Tuan, semalam saya dirampok oleh enam laki-laki bercadar. Mereka bersenjata parang dan pisau dapur,” kata lelaki itu tergopoh-gopoh. Beberapa hari kemudian seorang saudagar datang melapor. Ia mengaku dirampok oleh delapan orang bercadar kain sarung, bersenjata seadanya. Lalu seorang hartawan yang lain mengadu telah dirampok oleh lima orang bertopeng yang gugup. Lalu tuan-tuan tanah dan pemilik perkebunan dan para bekel mengadu pula.

0 comments: